National Geographic

Nyalindung, Burangrang

Lokasi SMA 2 Cimahi

Reduce your environmental footprint
StopGlobalWarming.org

Friday, November 29, 2013

JADILAH SAFETY PLAYER DAN ANAK NEGERI INI TAK AKAN PERNAH KEMANA-MANA. Beritanya terpetik tadi pagi, ketika sebuah korban kembali jatuh. Sebuah organisasi Pecinta Alam Bramatala yang UKM nya STIEB di Bandung tikarnya harus digulung. Alasannya pada saat pendidikan dasar, ada siswa yang meninggal dunia. Tentunya berita duka, seorang siswa meninggal dunia harus menjadi bahan pelajaran berguna bagi kita semua. Seharusnya menjadi bahan renungan, dan sekaligus menyampaikan salam duka bagi keluarga yang ditinggalkannya. Namun terlepas dari kedukaan tadi, sesungguhnya ada kalimat tanya dihubungkan dengan pembredelan organisasinya. Quo vadis sistem pendidikan nasional kita ?..... Silahkan cek, semua organisasi PA yang tikarnya digulung oleh para pemegang otoritas pendidikan di negeri ini ( apalagi di tingkat SLTA ), adalah konon karena kegiatannya mengandung resiko, terlalu beresiko, begitulah alasannya. Saat resiko itu terjadi, seperti kecelakaan bahkan kematian, maka lembaga pendidikanlah yg kena getahnya. Salah satunya adalah “citra” lembaga menurun, akibatnya kekurangan mahasiswa, akibatnya lagi pemasukan keuangan akan seret. Lalu “bisnis” pendidikan akan layu dan mati. Jadi wajar dalam pemikiran mereka, apapun yang berbau resiko harus dibuang jauh-jauh, karena hal itu akan menggoyang kemapanan citra. Sang “resiko” menjadi kartu mati yg harus dihindarkan, dan pelajaran untuk menjadi “safety player”, inilah yang tengah di “ajarkan” oleh para pemangku lembaga pendidikan tinggi. Sengaja kata “pengajaran” yg dipilih, karena pengajaran layaknya kursus, hanya berbicara dari pandangan teknis hardskills saja. Sebaliknya dengan sistem pendidikan, selain hardskills juga berisi wawasan softskills, yang kelak akan menjadi fondamen bari kerangka sistem nilai, sebuah “value system”. Jadilah safety player, itu yang kami tolak. Bahwa basis pendidikan Pecinta Alam Indonesia bersumber dari kepanduan dunia. Saat pandu di pramuka kan, maka sejak itu pula organisasi PA tumbuh subur di negeri ini. Buku “Adventuring to Manhood” dari Lord Baden Powel of Gilwell menjadi rujukan sejak awal. Manhood bukan kejantanan dalam pemahaman macho yang kering dan ekspoitatif, namun lebih ke feminis yang bersahabat, ekologis serta nilai-nilai integratif. Organisasi Pecinta Alam mendidik anggotanya untuk menjadi seorang risk-taker. Resiko hanya ada untuk dihadapi dan dikelola dengan baik. Resiko adalah alat untuk maju, resiko adalah stress yang positip, resiko untuk menaikan kesiagaan diri, resiko yang membuat seseorang tetap sadar pada kekinian dan kedisinian ( aktual dan faktual ). Resiko adalah kesempatan, resiko adalah harga yang pantas untuk dibayar demi kemajuan diri, dan bla bla bla lainnya. Saat lembaga pendidikan meng amputasi pelajaran tentang risk-taking, maka yg muncul adalah para safety-player, yang jumlahnya semakin bejibun di negeri ini. Para safety player bicara tentang pengamanan diri, seluruh resiko ditiadakan jika perlu. Bahkan bukan hanya dirinya, namun sampai 7 turunan dia amankan. Berdiam di gedung dengan pagar tinggi, dengan sekuriti di gerbangnya, dan tentu saja dengan uang miliaran di depositonya. Lalu siapakah mereka ini ?. Tentu saja para birokrat teknokrat, yang notabene produk lulusan perguruan tinggi, yang saat ini banyak berurusan dengan KPK. Nampaknya mata kuliah “ how to become the safety player” sudah lebih mendarah daging. Namun segelintir kecil para siswa dan mahasiswa tetap tak setuju dengan pendapat sang profesor. Mereka masih tetap konsisten untuk menjadi “risk taker” sekalipun nyawa yg menjadi taruhannya. Mereka ini yang menuruni jurang 500 meter saat pesawat Sukhoi jatuh di gn Salak. Mereka ini yang memunguti ribuan serpihan mayat saat tsunami di Aceh, tanpa mengindahkan belatung maupun kutu mayat. Mereka pula yang memobilisasi penduduk gn pepandayan, ditengah ancaman letusan sang dewa gunung. Dan jangan lupa mereka pula yang membawa kebanggan saat sang Saka Merah Putih ditancapkan di 7 puncak tertinggi di dunia ( the Seven Summit ), yang setidaknya telah dilakukan oleh 2 organisasi Pecinta Alam dan Pendaki Gunung dari Bandung, yaitu Wanadri dan Mahitala Unpar. Pak profesor yg terhormat, kami lebih mempercayai ungkapan seorang pendahulu kami, yang berujar : “ A person who walk on the ridge burried deep in snow, a person who enter the forest and sleep on the meadow under the sky. Those persons will give their country, the indomitable spirit of the mountain. “ ….. Merekalah para pengembara, yang kelak akan menyumbangkan bagi negaranya “ketangguhan” layaknya sebuah gunung. Sayang pelajaran tentang resiko dan ketangguhan itu, sekarang kembali harus di amputasi dalam sistem pendidikan kita. Sayang hanya safety player yang diajarkan, yang membuat para birokrat masuk penjara, dan membuat para generasi muda lebih suka bergerombol di mall-mall, hanya untuk memanjakan syahwat dugem serta hedonisme belaka… dan anak-anak negeri ini tak akan pernah kamana mana…!!! Sekali lagi pak profesor, disinilah mungkin pencabangan jalan harus terjadi. Anda dengan jalan anda, dan kami tetap di jalan yg kami tempuh saat ini. Jayalah Pecinta Alam Indonesia, negeri tetap menunggu baktimu…. Yat lessie

Ronzlandy Bakri bukan anwarpala/galatuping

Saturday, August 22, 2009

indonesia tanah air beta..dirgahayu indonesia

Dimana pecinta alam saat ini??

Terkesan oleh satu rumor yang mempertanyakan dimana pecinta alam saat ini. Pertanyaan ini sekaligus menjawab teka-teki bahwa ternyata masih ada orang yang tahu tentang pecinta alam. Berbicara pecinta alam bagi kita tidak lebih seperti berbicara masalah lingkungan yang semakin absurd tidak tahu ujungnya. Tercatat hampir sekitar 250 perhimpunan pecinta alam di Yogyakarta saja, belum di Indonesia.Pada umumnya terdiri dari berbagai elemen masyarakat dari mahasiswa,pelajar sampai organisasi PA (pecinta alam) umum pun hadir menjamur dewasa ini.di mahasiswa terkenal dengan sebutan Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) di pelajar terkenal dengan nama Sispala (siswa pecinta alam).

Secara umum orang tahu pecinta alam, mereka adalah orang yang suka atau punya hobi naik gunung dengan rambut gondrong, pakaian, aksesoris yang khas menandakan seorang pecinta alam. Sayangnya opini yang menempel pada diri PA ini lebih menjurus pada konotasi yang negative, ini lebih karena sering terjadinya praktek-praktek vandalisme di gunung, tempat wanawisata bahkan dipuncak gunung sekalipun ada coretan-coretan iseng.

Terlepas dari apakah ini perbuatan seorang pecinta alam atau hanya kebetulan orang yang iseng saja yang naik gunung membawa spidol atau cat semprot. Karena sulit membedakan antara pecinta alam asli yang peduli alam dan lingkungannya atau hanya pecinta alam gadungan yang hanya menempelkan nama kerennya saja, anggapan pun semakin luas terhadap perilaku sosial yang tidak terpuji seperti membuat kegaduhan di tengah malam dengan teriak-teriak bahkan lebih kaget lagi adalah sering ditemukannya berbagai macam sampah sampai kondom sekalipun di Taman Wisata Kaliurang, ini siapa lagi kalau bukan orang yang sering main ke gunung.

Terlepas dari konotasi negative tadi, pecinta alam mempunyai satu posisi yang sangat penting perannya dalam membina generasi muda untuk kepedulian terhadap alam ini seperti bisa kita lihat kegiatan-kegiatan penghijauan di lereng Merapi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pecinta alam di Yogyakarta atau aksi bersih kali oleh beberapa pecinta alam di Bandung beberapa bulan. Ini menandakan adanya satu persepsi yang masih belum diketahui oleh kebanyakan orang tentang kegiatan pecinta alam yang tidak saja berkutat di acara mendaki gunung.

Namun dalam tataran politik lingkungan pecinta alam cenderung apolitis dalam tataran gerakan lingkungan secara keseluruhan pecinta alam belum memperlihatkan sebuah sinergi gerakan yang dinamis, sepertinya belum ada satu pemikiran taktis gerakan pecinta alam dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan.

Lebih jauh lagi pada peran mahasiswa pecinta alam, masih sedikit aksi-aksi advokasi dari para mahasiswa pecinta alam untuk masalah lingkungan. Ini terkesan apatis untuk melakukan advokasi bagi korban pencemaran lingkungan atau penolakan untuk rencana pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan. Ambilah salah satu contohnya di Yogyakarta, ditengah maraknya isu pembangungan kawasan konservasi air dan hutan oleh Pemkot, Jalan Lintas Selatan yang melewati kawasan hutan yang masih alami, Taman Nasional Gunung Merapi, Safir Square , Plaza Book UGM, Pelabuhan ika di Pantai Glagah yang nyata-nyata tidak sesuai dengan Ketentuan kebijakan lingkungan mengenai Tata Ruang, AMDAL, UU No 23 taqhun 1997, Transparansi dan Akuntabilitas public. Mahasiwa pecinta alam atau kelompok pecinta alam lainnya terkesan acuh tak acuh tidak mau peduli mengkritisinya.

Dikutip dari satu catatan Gerlorfd Nelson senator Amerika tahun 1970 yang disampaikan dalam Catalyst Conference Speech of Illionis tahun 1990, ia mengatakan “ jika ingin mengubah Negara untuk kegiatan-kegiatan yang sulit tentang persoalan kebijakan politik, pecinta lingkungan menjadi sumber kekuatan dengan apa saja dapat dilakukan, jika anda ingin mempunyai Negara untuk kepentingan ekonomi, pikirkan diri anda dan generasi yang akan datang, kita yakin anda dapat melakukannya“.

Catatan ini yang menjadi dasar untuk bergerak dalam wacana lingkungan melawan kapitalisme global.Kini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk membangun sebuah sinergi gerakan dari para pecinta alam baik itu mahasiswa pecinta alam, siswa pecinta alam ataupun kelompok – kelompok pecinta alam lainnya untuk masa depan lingkungan hidup karena masalah lingkungan adalah permasalahan bersama sehingga korelasi antara banyaknya pecinta alam dengan kelestarian alam ini dalam tanda positif bukan sebaliknya.“Sedikit ide yang kau tuang dalam karya, akan lebih berarti daripada seribu kata yang terucap”

ekspedisi Pegunungan Sudirman 2009 Mahasiswa Pecinta Alam (Mahitala) Universitas Parahyangan

Dua acungan jempol layak diberikan kepada tim ekspedisi Pegunungan Sudirman 2009 Mahasiswa Pecinta Alam (Mahitala) Universitas Parahyangan. Tim pendaki yang berjumlah 10 orang ini, menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil mencapai puncak Idenburg, Papua. Mereka berhasil mencapai puncak Idenburg, pada 29 Januari lalu.

Menurut Farli, Ketua Dewan Pengurus Mahitala Unpar, pencapaian puncak Idenburg meleset satu hari dari rencana semula yang targetnya tanggal 28 Januari. “Karena tim membutuhkan waktu recovery dulu,” ujarnya ditemui di Kampus Unpar, Jalan Ciumbuleuit, belum lama ini.

Tim ekspedisi dibagi tiga tim, yaitu tim Engea 1, Engea 2, dan Engea 3. Ada satu orang yang tak ikut mendaki. Dia menjadi penghubung antara tim pendaki dengan tim yang berada di kampus. Di kampus sendiri, ada sekitar empat orang.

Suhu, hujan dan kabut menjadi tantangan utama. Berdasarkan laporan yang diterima dari rekannya melalui email, cuaca di daerah Idenburg berubah-ubah. Jika malam tiba suhu dapat mencapai minus 1 derajat celcius. “Tidak sesuai dengan perkiraan semula,” ujar Farli.

Meski hujan mengguyur dan kabut tebal menyelimuti lembah Idenburg, tidak menyuruti tim ekspedisi untuk mencapai puncak Idenburg. Bahkan, beratnya medan yang penuh dengan tebing berwarna putih, membuat tim semakin bersemangat untuk menaklukan puncak Idenburg. Sesampainya mereka tiba di puncak Idenburg, mereka lalu mengibarkan bendera Merah Putih.

Farli, yang juga mahasiswa jurusan Arsitektur Unpar ini mengatakan lembah idenburg belum pernah dieksplorasi oleh orang Indonesia. Hanya Henrich Harrer, warga negara Austria yang pernah menyambangi Idenburg pada 1960, namun tidak mencapai puncak

Saturday, July 25, 2009

Kita Bisa belajar banyak dari Jayawijaya..meskipun itu sebuah kelemahan

pernah sy tulis hal ini di group yahoo jw...Saya sampaikan kembali kita patut dan harus mengetahui kelemahan dan kekurangan kita sebagai organisasi dan sebagai individu anggota didalam organisasi. Kalo boleh saya menjabarkan kelemahan dan kekurangan kita adalah :
1.Organisasi kita adalah multi karakter dengan latar belakang anggota yang kompleks dan terkesan "no action talk only" bukan Talk Less Do More...!
2.Kita masih punya rasa senioritas yang dijunjung tinggi sehingga jarak hubungan menjadi terhambat dan tersekat
3.Pengalaman organisasi yang menunjukkan kelompok senioritas yang lebih dominan, pengaruh yang kuat dan langgeng
4.Adanya sikap arogansi, pemaksaan kehendak dan kepentingan, smua untuk "prestige" dan hanya untuk kesenangan dan kepuasan kelompok tertentu
5.kelompok muda yang sering dijadikan sebagai `alat kerja' dan bukan sebagai pengambil keputusan "decision maker"
6.ada kecenderungan dimana kelompok muda sulit dan menghindari untuk diskusi, pertemuan dengan kelompok senior sehingga hal ini menggangu dan menghambat kegiatan di organisasi baik teknis dan non teknis. Kecenderungan itu terjadi karena adanya rasa takut dan segan sehingga menjadi malas dan timbul sikap acuh tak acuh
7.ga perlu dipungkiri loyalitas anggota terutama senior saya acungkan jempol, namun perlu kita sadari khususnya bagi kelompok muda bahwa waktu,tempat, tenaga dan pikiran nya sangat terbatas karena sudah bnayaknya kegiatan terutama kehidupan lebih lanjut, masa depan, pencarian nafkah/bekerja dan mengurus keluarga
8.secara tidak langsung di organisasi JW terbangun budaya dan pemahaman pada keompok muda bahwa masalah pada hakikatnya hanya diselesaikan oleh senior. Sehingga hal ini jelas adalah budaya yang kurang baik, sehingga setiap permsalahan yang ada kelompok muda tidak akan bisa berbuat banyak dan terbukti pada permalahan saat ini.
9.Kebosanan dan Kejenuhan dalam berorganisasi disaat organisasi pun tidak berkembang baik secara kualitas maupun SDM yang ada dan justru berjalan menuju kearah kemunduran yang semakin kehilangan citra dan semangat.
10.penyakit hati, (tidak suka,dendam,karena tersakiti, karena tersinggung, berbeda pikiran mindset dan pendapat kita, selalu berbenturan) baik terhadap individu orang per orang, kelompok tertentu, golongan tertentu, dan terhadap organisasi.
yang ada dan apapun masalahnya...!!
apakah kita bisa berkumpul kembali??apakah hal inilah yg buat kita tidak aktif dan vakum??apakah semangat kita masih ada dan atau kah memang jayawijaya cukup sampai disini ujung dari sebuah perjalanan panjang, cukup untuk sejarah dan cerita anak cucu kita??ok kalo memang kita tidak perlu menuntut banyak, memang cukup sampai disini (bubarkanlah berdasar AD/ART) biar sejarah kita jelas dan pasti. tp bagaimana dengan sillaturahmi kita, persaudaraan kita, pertemanan kita, perkenalan kita, batin dan hati kita, solidaritas kita yg besar. apakah akan dikorbankan juga??tentu tidak mau bukan??ayo bergeraklah...rangkul kembali dan buang jauh2 masalah dulu!!kalo dikorbankan..sungguh sebuah kemunduran yang sangat besar dan mubazir..!

Thursday, July 16, 2009

Perjalanan Masihlah Panjang

Kerinduan nyanyian alamMembawa angan melayangSusuri tapak-tapak kaki silamTertutup semak berduri dan berdebuYang sekian lama menyesak kalbuMenguji kekuatan sanubari kehidupan demi kehidupanMenuju puncak kehormatan meski tanpa bentukSeperti terlukis dalam benakSemakin lama langkah tak terkendali, terseok-seokJatuh bangun, kadang keluar jalur setapakAku tersentak, bingung, kagum, penat, …Entah apalagiTerdiam berdiri kutoleh ke segala penjuru arahOh… ternyata harus jengah sejenak mengusap keringatDingin berselimut kabut terasa menusuk belulangTerduduk lamunan membawa bimbangPada seluruh perseteruan rasa, asa, dan maut…Namun, gejolak itu cepat mereda terbuaiRona alam yang tak asing dalam ingatanKeabadian edelweis mengejek sisa-sisa semangatAku marah …Aku berontak menggandeng segenap rasaYang bersemayam dalam diri mencoba jejakkan langkahPada episode selanjutnyaAkhirnya, …Perjalanan hidup mati ini pun sampai pada puncaknyaSembah sujud mencium tanah kebebasanSembari histeris mengagungkan nama IlahiDan …Terdiam kurenung menyadariBegitu banyak puncak yang belum terdaki,Ternyata masih belum waktunyaMelepas tawa-tawa bahagia
Be part of the solution. Support WWF today  Working together for a living planet Send a free WWF ecard Find out more about endangered species